MISTERI RUMAH KOS
<Kiriman Cerita Teman>
CSH - Sebenarnya
aku tak mau menceritakan kisah ini. Bagiku menceritakannya sama saja mengulang
lagi setiap detail pengalamanku di rumah itu, dan kau tahu, itu bukanlah
pengalaman yang menyenangkan untuk diingat.
Tapi baiklah Kali ini aku akan
menceritakannya, dan cukup sekali ini aku melakukannya dan kuharap ini untuk
yang terakhir kali. Begini ceritanya; sekitar lima tahun yang lalu, ketika aku
baru saja menjadi mahasiswa di kota Bandung, seperti kebanyakan mahasiswa
rantau lainnya, aku juga mencari-cari tempat kos yang kira-kira dekat ke kampus.
Karena belum punya teman dan tak
punya saudara di sini, atau orang yang kukenal, aku mencari tempat kos sendiri
saja. Selesai menyelesaikan semua urusan pendaftaran di kampus tempat aku
diterima, aku langsung keluar kampus untuk mencari tempat kos.
Untung aku datang lebih awal dan
saat loket pendaftaran dibuka aku menjadiantrian pertama. Akhirnya aku bisa
menyelesaikan semua urusan pendaftaranku lebih awal. Kira-kira pukul
sebelas aku sudah keluar kampus.
Setiba di luar gerbang, aku merasa sangat bingung. Aku benar-benar tak tahu tentang kota Bandung ini dan aku juga tak punya siapa-siapa yang kukenal di sini. Malah dalam pikiranku, seandainya sampai malam nanti aku masih belum menemukan tempat kos, aku akan menginap di kampus saja.
Tapi pikiran itu segera kutepis.
Aku menghembuskan nafas kuat- kuat dan bertekad dalam hati kalau aku pasti bisa
menemukan tempat kos sebelum senja! Kemudian aku mulai bertanya - tanya pada
mahasiswa - mahasiswa yang tampak senior dan sedang berkeliaran di luar kampus
tentang di daerah - daerah mana saja yang terdapat banyak tempat kos.
Aku juga bertanya pada
penjual-penjual kaki lima yang bertebaran disekitar gerbang kampus dan
untungnya mereka dengan ramah menunjukkannya. Setelah sekian informasi dan
kurasa cukup, aku mulai berjalan sambil menyandang tas ranselku yang sangat
padat dan berat.
Aku menyisiri trotoar disepanjang
jalan menuju ke daerah yang ditunjukkan oleh orang-orang yang kutanya tadi. Aku
mulai dari rumah pertama dan seperti yang tak terlalu kuharapkan, pemilik
kosnya bilang penuh. Aku melanjutkan ke rumah berikut dan sayangnya, selalu
saja kudapatkan penuh. Aku mulai digerogoti rasa pesimis bahwa untuk rumah
berikutnya pasti akan kudapatkan hal yang sama.
Aku mulai kehilangan harapan
mendapatkan tempat kos sebelum senja. Tapi saat itu hari udah menunjukkan pukul
setengah dua siang dan perutku mulai keroncongan. Aku memutuskan beristirahat
sejenak di sebuah warung kecil yang menjual nasi dengan lauk dan sambal rumahan
seadanya. Ibu pemilik warung itu gemuk dan wajahnya sangat ramah.
Ketika aku memasuki warungnya,
dia menyambutku dengan hangat
sambil mempersilakanku duduk
layaknya anaknya sendiri. Aku merasa canggung sekaligus senang diperlakukan
begitu. Tapi ibu itu tampak sudah biasa dengan mahasiswa-mahasiswa seperti aku,
yang kelelahan,
lapar, dan jauh dari keluarga.
Dia mengambilkanku sepiring nasi
lengkap dengan lauk dansayurnya.
Melihat gunungan nasi komplit di
piring itu, aku agak cemas akan membayar banyak, tapi, aku benar-benar sangat
lapar dan lelah. Perasaanku tercabik antara lapar dan kondisi saku. Setelah
pendaftaran tadi,
semua uang yang dititipkan orang
tuaku nyaris habis dan yang tersisa hanya untuk biaya kos dan beberapa kali
makan.
Dan orang tuaku baru bisa
mengirimkan uang seminggu lagi. Tapi ibu itu seakan tahu kekahwatiranku dan dia
langsung bilang sambil tersenyum bijak, ”Tak apa-apa, Nak, sekali ini gratis!”
. Mendengar itu senyumku pun langsung cerah. Sambil makan, ibu pemilik warung
itu menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Mulai dari daerah asalku,
alasanku kuliah di sini, sampai cerita tentang pengalaman ibu itu pernah
merantau di daerah asalku selama beberapa tahun dan akhirnya kembali ke
sini. Karena sangat lapar dan menghabiskan makananku dengan lahap, aku tak
terlalu mendengarkan ibu itu bercerita. Tapi tampaknya, ibu itu hanya senang
bercerita meski tak seorang pun antusias mendengarkannya.
Setelah selesai makan, sesaat
sebelum aku pamit dan mengucapkan terima kasih, aku menyempatkan diri bertanya
pada ibu itu tentang tempat kos yang masih tersedia di sekitar sini. Sekilas
aku menangkap ada keraguan di wajahnya, tapi
kemudian ibu itu berkata, ”Kalau
di sini selalu penuh, tapi mungkin, yang di sebelah sana, ” ibu itu menunjukkan
sebuah jalan lagi, sekitar seratus meter dari
seberang warungnya ” masih banyak
yang kosong. Soalnya, sebagian mahasiswa lebih suka kos di daerah sini.
” Aku heran. ”Memang kenapa, Bu?”
Apa di sebelah sana lebih mahal?” ”Oh, tidak juga,” jawab ibu itu nyaris
memotong pertanyaanku.
”Malah banyak yang murah. Hanya
saja, mungkin…,” Ibu itu tak meneruskan perkataannya lagi dan wajahnya berubah
kaku. ”Ibu sarankan, kalau bisa, kamu
cari kos jangan di sana.” Dalam
benakku, aku sudah terlanjur menggarisbawahi kata- kata ’malah banyak yang
murah’ hingga aku jadi tak begitu mempedulikan perubahan aneh sikap ibu tentang
daerah yang ditunjuknya itu. Dan segera
saja aku meluncur ke sana. Aku
sampai di gerbang masuk jalan itu. Kuat dugaanku daaerah ini pasti sebuah
komplek perumahan tua.
Terbukti dari gaya bangunannya.
Selain itu tanaman yang tumbuh di sembarang tempat jelas menandakannya. Aku
juga mendapati di kiri kanan jalan pohon-pohon tumbuh subur dan
besar-besar. Tentu saja, butuh waktu berpuluh tahun untuk membiarkan pohon
tumbuh sebesar itu. Kemudian aku mendongak ke langit dan kulihat silau
cahaya matahari mengintip dari rimbunnya dedaunan. Kurasakan juga angin sepoi
bertiup menyegarkan. Tempat yang ideal, pikirku. Kulihat jam tangan, hari sudah
pukul setengah tiga.
Oh, aku harus segera menemukan
tempat kos nih! Aku mulai dari rumah pertama.
Tapi aku tak berharap banyak dari
rumah ini. Jika pada pencarianku sebelumnya yang kudapatkan selalu saja
‘penuh’, di tempat ini malah sebaliknya. Aku justru tak menemukan seorang pun
untuk ditanya.
Aku melewatkan rumah pertama setelah setengah jam tak mendapatkan apa-apa. Kemudian kulanjutkan ke rumah kedua dan hasilnya pun sama, begitu juga dengan rumah ketiga dan seterusnya hingga sampailah aku ke ujung jalan yang ternyata buntu. Hari sudah menunjukkan pukul lima sore, dan sejauh ini aku masih belum menemukan tempat kos.
Tinggal rumah terakhir bernomor
66 yang terletak paling ujung. Bangunannya bergaya Belanda. Dinding-dinding
yang dulunya dicat putih kini sudah berwarna
coklat kusam. Bahkan di beberapa
tempat sudah berwarna hitam oleh lumut
berusia puluhan tahun.
Rumah itu seolah tersandar ke dinding tinggi berwarna hitam yang mengakhiri jalan ini. Seperti rumah-rumah sebelumnya, rumah itu juga tampak kosong dan sudah lama ditinggalkan. Rumput dan tumbuhan sulur liar sudah tumbuh sembarangan di halamannya. Aku mulai dihantam kekecewaan.
Sepertinya, untuk mendapatkan
tempat kos hari ini sudah tak ada harapan lagi. Aku memutuskan untuk kembali
saja ke kampus dan melanjutkan pencarian besok. Tapi ketika aku berbalik,
tiba-tiba seorang ibu- ibu keluar dari rumah itu. Rambutnya sudah semuanya
putih dan dia memakai kacamata bulat tebal berantai.
Tangannya yang kisut memegang
gagang pintu dengan gemetar. “Mau cari tempat kos?” tanyanya padaku dengan
suara serak tuanya yang bergetar.
Aku membalasnya dengan anggukan
cepat antusias.
“Masuklah!” Sebenarnya, ketika
pertama kali aku masuk dan kakiku menginjak
halamannya yang terlantar, aku
merasa ada yang aneh.
Perasaan sedih, terasing, suram
dan tanpa harapan seperti berkecamuk, menguar dari setiap sudut rumah. Tapi
karena saat itu harapan untuk memperoleh tempat kos lebih besar dari apapun,
aku mengabaikan perasaan itu, khawatir akan membuatku takut sendiri. Ibu itu
memanduku ke dalam.
Ruangan tamunya kosong melompong,
tak satupun perabot mewah terpajang, hanya lantai ubin antik berwarna suram.
Dinding-dindingnya juga sudah kusam, dan agak bau. Seperti bau lumut, tapi juga
bukan. Sambil berjalan, kulihat langit- langit rumah tinggi, namun sedikit
berbercak-bercak kecoklatan.
Di tengah-tengahnya tergantung
sebuah lampu watt rendah dibaluti sawang laba-laba, yang tampaknya sudah
dibiarkan begitu saja selama bertahun- tahun, tanpa perhatian. Aku jadi kikuk
karena ibu itu diam saja selama memanduku melewati lorong-lorong rumahnya menuju
kamar kosong yang terletak paling ujung.
Bunyi sandalnya yang bergesek dengan lantai ubin yang dingin dan berwarna gelap agak membuatku merinding. Sepanjang lorong itu, berjejer pintu-pintu kamar yang tertutup rapat.
Kupastikan ada sekitar selusin
kamar di kiri-kanannya. Aku simpulkan rumah ini sudah lama dijadikan tempat kos
dan yakin sekali penghuninya pasti banyak sekali. Tapi sayangnya tak satu pun
dari pintu-pintu itu terbuka. Jendela di sampingnya juga gelap tertutup tirai
gorden yang agak berdebu. ”Apa semua kamar ini sudah penuh, Bu?” tanyaku. Lama
baru ibu itu menjawab. ”Tinggal satu yang kosong.” Itu berarti banyak orang di
sini.
Aku akan punya banyak teman kos.
Rumah ini pasti akan ramai sekali. Tapi anehnya, tak satupun kamar yang menunjukkan
ada orang di dalamnya. Apa semua orang sedang pergi keluar? ”Ini kamarnya.”
kata ibu itu dingin. Dia memasukkan kunci lalu pintu kamar itu terbuka
perlahan. Pintu itu berderit panjang. Jelas sudah lama sekali tidak pernah
dibuka. Ada saklar di samping pintu sebelah dalam.
Aku lalu menekannya dan kulihat
lampu yang tergantung setengah meter dari langit-langit. Awalnya, lampu itu
enggan hidup, berkedip-kedip seperti mau putus, tapi untunglah kemudian bisa
menyala meski agak terkesan temaram. Tapi itu bukan masalah karena aku masih
bisa menyelidiki bagaimana sebenarnya kondisi kamar itu. Ada satu lemari kayu
bersandar di salah satu sudut kamar dan sebuah tempat tidur disampingnya.
Beberapa bantal yang belum
bersarung juga ada di atasnya, menumpuk membentuk gunungan bantal—aku sama
sekali tak berharap bantal itu akan jadi milikku,
karena kelihatannya sudah lama
tak terpakai dan diselimuti debu tebal. Namun, yang paling penting bagiku
adalah tempat colokanlistrik.
Setelah kupastikan ada— ternyata
terletak tepat di samping jendela—aku keluar menghampiri ibu itu, saatnya
bernegosiasi soal harga sewa kamar. ”Kamar mandinya ada di ujung sana, lalu
belok kiri,” ujar ibu itu sambil menunjuk ke samping.
”Ada dua. Yang satu hanya untuk
tempat mencuci baju dan mandi.” Aku mengangguk-angguk sepakat. Kurasa kamar ini
cocok. Cukup luas dan hawanya dingin. Lagi pula sudah lama aku tidak punya
kamar sendiri.
Dalam pikiranku, sudah terbayang
beragam rencana pengaturan
untuk kamar baruku ini. Sudah
kutempatkan dimana kira-kira
posisi terbaik untuk televisi,
komputer, penanak nasi, dan lain
sebagainya. ”O iya, dengan air
dan listrik, sebulan berapa, Bu?” tanyaku. ”Seratus ribu.” Jawabnya singkat.
Apa!? Apa aku tak salah dengar.
Hari ini masih ada tempat kos
dengan harga sewa serendah
itu? Oh, mungkin aku salah
dengar. Mungkin juga ibu itu salah ucap.
Aku tetap tidak percaya.
”Berapa?” tanyaku memastikan lagi. Tapi ibu itu tetap menjawab sama, dan tetap
tak berubah ketika aku menanyakan untuk ketiga kalinya. Dalam hati, apa
hari ini keberuntunganku atau ibu itu yang salah menawarkan harga? Ah,
sudahlah. Aku akan ambil kamar ini. Mumpung murah. Setelah sepakat dan menerima
sejumlah uang dariku, ibu itu menyerahkan kunci kamarnya.
Bunyi gesekan sandalnya dengan
lantai terdengar menjauh saat aku masuk kembali ke kamar dan yakin sekali, ibu
itu sudah kembali ke ruang depan, atau mungkin ke kamarnya
dekat ruang tamu. Karena barang-barangku tak banyak, hanya satu tas ransel saja, aku tidak perlu lama menata
kamar. Aku cukup membersihkannya dulu lalu
membeli barng-barang yang kira-
kira sangat kuperlukan saat ini.
Meski suka berkedip-kedip setiap kali dihidupkan, sebenarnya lampu kamarku masih baik-baik saja. Tapi aku tak suka temaramnya. Cahayanya membuat kamarku suram. Aku juga segan minta lampu pengganti. Bayar cuma seratus ribu aku malah minta lebih.
Ah, lebih baik kubeli saja nanti.
Seharian berjalan membuatku kaki luar biasa pegal. Ditambah membersihkan kamar,
mengepel lantainya, dan melap bagian- bagian yang berdebu, lalu menggeser-geser
letak lemari kayu dan tempat tidur,sempurna sudah meremukkan tubuhku.
Kebetulan ibuku menitipkan alas
kasur dan beberapa sarung bantal di
ranselku, jadi aku tak perlu
memintanya lagi ke ibu tua itu. Setelah semuanya cukup bersih, paling tidak
tempat tidurku sudah cukup nyaman untuk kutiduri, aku memutuskan berbaring
sejenak, sekalian menunggu maghrib tiba. Rasanya tak sampai beberapa menit, aku
sudah tertidur pulas. Tapi segera saja terasa ada
sesuatu yang membuatku tak nyaman.
Gerah memenuhi kamarku, bertambah
terus menerus. Aneh. Padahal sebelumnya sangat dingin. Aku ingin
bangun tapi karena sangat letih aku benar-benar tak berdaya walau sekedar
membalik tubuhku. Lebih anehnya, aku ingin membuka mata tapi tak berhasil.
Pikiranku saat itu antara sadar dan tidak. Lalu tiba-tiba saja aku merasa takut.
Sangat takut. Aku merinding dan
gemetar ketakutan. Aku meringkuk, menarik selimut hingga menutupi kepala. Aku
juga merasakan keringat dinginku merembes pelan dari sekujur tubuh. Yang
membuatku lebih takut lagi, aku mendengar suara serak, mirip bisikan dan
erangan, memanggil- manggil namaku. Suara siapa itu? Aku ingin bangun tapi
tubuhku seperti lumpuh. Bahkan untuk sekedar membuka mata aku benar-benar tak
sanggup.
Namun, samar-samar dari celah
mataku, aku seperti melihat sosok putih berdiri mengambang di ujung kakiku,
tinggi jangkung dan berambut panjang. Kepalanya nyaris menyentuh
langit-langit kamar dan dia seolah menunduk menatapku. Aku ketakutan dan ingin
segera bangkit tapi sungguh, aku tak berdaya.
Aku juga ingin berteriak sekencang-kencangnya, tapi suaraku hilang. Tubuhku membeku dan gemetar, basah oleh keringat. Setelah berapa saat berjuang untuk membuka mata, yang rasanya berjam-jam, akhirnya aku terbangun juga. Aku langsung bangkit dan memberanikan diri menatap ke tempat di mana sosok putih tadi berdiri. Aku tak mendapatkan apa-apa.
Di sana cuma ada dinding kusam
yang lembab, sebagaimana semula. Aku juga mengamati langit-langit kamar,
barangkali saja ’sesuatu’ itu telah pindah dan bergelantungan di suatu tempat
di atasku. Tapi tidak.
Tak ada tanda-tanda telah terjadi
sesuatu. Aku tak melihat gorden jendela bergoyang, atau mungkin daun pintu
yang terbuka perlahan mengeluarkan bunyi derit panjang mengerikan. Tidak. Tidak
ada. Ah, mungkin itu mimpiku saja. Toh, aku juga sering mimpi
horor seperti itu. Mungkin juga akibat kelelahan dan dalam
tahap penyesuaian di tempat baru.
Tapi suara bisikan itu…. Suara itu seperti nyata. Aku tak yakin itu sekedar mimpi. Dan anehnya, aku merasa suara itu seperti berasal dari dinding-dinding di kamarku. Aku melirik jam di meja belajar di samping tempat tidurku. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Senja telah pasti lewat.
Aku pun memutuskan mandi. Aku
keluar kamar dengan membawa handuk dan perlengkapan mandi. Ketika aku menoleh
ke ujung lorong, aku melihat sekelebat bayangan putih menghilang ke tikungan
kamar mandi. Aku hanya sempat melihat ujung kain putihnya saja.
Sesaat darahku berdesir. Apaitu?
Ah, mungkin itu teman kosku yang mau mandi juga. Aku meneruskan langkahku
menyusuri lorong panjang menuju kamar mandi, sambil berharap-
harap dalam hati paling tidak ada salah satu kamar yang terang, menandakan ada
penghuninya. Tapi perasaanku kian ciut ketika
aku telah sampai ke ujung lorong
dan tinggal berbelok ke kamar mandi. Tak satu pun kamar yang hidup lampunya.
Semuanya mati.
Satu-satunya penerang di lorong
itu hanyalah lampu kuning watt rendah yang tergantung tepat di tengah-tengah.
Alih-alih membuat terang, efek temaram yang dihasilkannya malah mendukung
suasana horor yang menegakkan bulu kuduk. Lalu sosok yang ke kamar mandi tadi?
Aku memberanikan diri berbelok ke kamar mandi. Di depanku terdapat dua kamar
mandi. Yang satu terbuka dan satu lagi tertutup.
Dari celah di bawahnya, aku tahu
lampu di kamar mandi itu tidak menyala. Tapi anehnya, aku mendengar suara
siraman dan percikkan air begitu gaduh.
Kurasa seseorang di dalam itu
sedang mandi habis-habisan. Dalam hati aku berujar lega, untung ada orang.
Kukira aku sendirian saja di tempat kos ini.
Senang dengan perasaan itu aku
langsung masuk ke kamar mandi di sebelahnya setelah menekan sakelar lampu di
samping pintu.
Yah, lagi-lagi lampu kuning. Aku
tak suka lampu kuning. Suram. Sabun putihku jadi berwarna kuning kusam. Aku
sudah sampai pada setengah dari acara mandiku ketika kusadari siraman-siraman
air di sebelah kamar mandiku sudah tak terdengar lagi. Aku berpikiran mungkin
’dia’ sudah selesai. Tapi aku tak yakin berpikir begitu karena aku tak
mendengar suara pintu dibuka.
Seharusnya aku dengar karena
kutahu pintu kamar mandi itu sudah cukup tua dan pasti berbunyi saat
dibuka. Saat kukira ’dia’ benar-benar sudah keluar dari kamar mandi
sebelah, tiba-tiba aku dikagetkan oleh bunyi sesuatu yang besar dan berat
jatuh berdebam diiringi bunyi benturan ke benda keras. Pikiran burukku langsung
menyergap. Siapa pun itu yang di sebelah, sepertinya baru saja terjatuh dan
mungkin, kepalanya terbentur ke sudut bak, lalu pingsan—oh, aku berharap itu
tak terjadi.
Tergesa aku membersihkan dan
membilas tubuhku. Setelah semuanya
beres aku keluar dan langsung
menggedor pintu kamar mandi sebelah. ”Kamu tidak apa-apa?” tanyaku cemas, aku
terus menggedor pintu.
Setelah beberapa kali bertanya
dan tetap tidak ada jawaban, aku benar-benar dilanda panik. Kurasa, siapapun di
dalam, tampaknya benar-benar tak sadarkan diri. Mungkin kepalanya bocor. Atau
tulang-
tulangnya patah. Dan darah
membasahi lantai kamar mandi.
Dalam pikiranku langsung
terbayang genangan merah kental. Oh, tidak! Ketika kuputuskan untuk menendang
pintu itu, lagi-lagi kudengar suara percikkan air,
aku mengurungkan niatku.
“Hei, kamu benar tak
apa-apa?” Aku masih menunggu. Tapi tetap tak ada jawaban. Suara percikkan air
itu malah terdengar sangat biasa, seolah sebelumnya tak terjadi apa-apa. Aku
mulai kesal. Ini keterlaluan, kupikir. Aku sudah setengah mati mengkhawatirkannya,
dia malah terus saja menggayung air. “Jawab sedikit, dong!” rutukku.
“Kalau terjadi apa-apa, bagaimana
coba?” Masih tak ada jawaban. Tapi suara percikkan air itu kini sudah mulai
berkurang dan beberapa menit kemudian berhenti total. Tak ada lagi suara.
Hening menyelubungi udara di sekitarku.Kurasa ‘dia’ sudah selesai dan mau
keluar. Aku menunggu hampir seperempat jam dan mulai merasa bosan.
Tapi ‘dia’ malah tak kunjung
keluar. Pintu kamar mandi itu tak bergeming sedikitpun. Aku mulai curiga.
Jangan-jangan dia memang terjatuh dan pingsan lagi. Kurasa sekarang bukan
waktunya main-main lagi. Aku benar-benar kesal bercampur cemas. Aku
bangkit dari sandaranku dan menuju kamar mandi itu. Namun, baru saja berjalan
beberapa langkah, aku mendadak berhenti. Kulihat pintu itu terbuka sendiri
seolah seseorang baru saja berhasil membuka kuncinya.
Aku menahan nafas menunggu seseorang menguaknya tapi pintu itu hanya bergoyang sedikit, memperlihatkan celah gelap di dalamnya. Aku memberanikan diri maju beberapa langkah lagi, berusaha mengintip dari balik celah.
Aku memicingkan mata, berusaha
melihat fokus apa memang ada seseorang di dalamnya. Sebenarnya aku sudah merasa
takut. Jantungku berdebar sangat kencang dan kurasakan kedua telapak tangaku
dingin dan gemetaran. Tapi aku tetap memberanikan diri membuka pintu itu lebih
lebar lagi.
Aku membuka pintu itu lebar- lebar seolah pintu itu terbuat dari besi panas. Karena gelap, aku melongok ke dalam. Samar- samar kuamati semua sudut
kamar mandi itu, dan malangnya,
aku tak menemukan siapapun!
Oh, ini sungguh menyebalkan! Apa
kos ini berhantu? Aku setengah berlari kembali ke kamarku di ujung lorong. Aku
tak bisa meredam ketakutanku. Bulu
kudukku semuanya berdiri.
Suasana dingin mendadak mencekam.
Sepanjang lorong itu aku sempat memperhatikan satu per satu kamar yang berderet
dikiri kanan lorong. Sungguh, aku berharap tak sendirian saat ini. Aku ingin,
paling tidak, ada seseorang berada di kamarnya, siapapun. Tapi semua orang
seperti pulang kampung saja.
Semua kamar itu tertutup rapat
dan lampunya mati. Tak ada tanda-tanda ada orang di dalamnya. Aku sangat
ketakutan hingga butuh seperempat jam untuk membuka pintu kamarku sendiri.
Kunci di tanganku licin oleh keringat dan sudah tujuh kali jatuh.
Parahnya, sekarang lampu kuning
suram sialan di tengah lorong itu yang mendadak mati! Dan satu-satunya sumber
penerangan hanya dari kamarku. Pintu kamarku terbuka dan aku tergesa masuk.
Setelah merasa agak tenang, aku mengunci pintu kamarku dua kali.
Aku memutuskan mendekam saja di kamar sampai besok pagi. Aku juga berencana akan pindah besok. Tempat kos ini benar- benar tak nyaman. Aku telah salah memilih tempat ini. Ketika aku menggantungkan handukku ke paku yang tertancap di dinding, sudut mataku menangkap sesuatu.
Dan anehnya, sebelum aku
benar-benar melihat, pikiranku langsung membawaku pada sosok putih horor dalam
mimpiku tadi sore.
Sekarang ketakutan dan kepanikan
benar-benar menguasaiku. Aku lemas. Aku tak
punya keberanian menoleh dan
memastikan apakah memang sosok itu yang sedang menatapku dari seberang kamar.
Kedua lututku lunglai. Kakiku mati
rasa.
Dan parahnya, aku kembali
mendengar suara bisikan persis seperti yang kudengar dalam mimpiku itu, dan
kini sedang memanggil-manggil namakudengan jahat. Suara itu begitu dingin dan
penuh dendam.
Aku tak sanggup mendengarnya
lebih lama lagi. Ini akan membuatku gila ketakutan. Aku langsung memutar
kunci lagi dan menghempaskan tak peduli pintu kamar di belakangku.
Sudat mataku menangkap sekilas sosok putih itu benar-benar berdiri
mengambang di sudut kamarku, dan kini seakan melayang pelan menuju ke arahku.
Aku tak sanggup membayangkan sosok itu akan melakukan apa padaku saat jarak
kami hanya beberapa senti.
Oh, ini sangat mengerikan!
Awalnya aku ragu menempuh
lorong gelap di depanku, seolah
aku akan menempuh jalanan kelam di tengah hutan. Tapi aku tak punya pilihan
lain. Tetap di dalam kamar sama saja bunuh diri. Meskipun ujung lorong dekat
dengan kamar mandi, tapi di sana ada pintu keluar. Aku ingin keluar dari tempat
ini. Secepatnya. Aku berlari seperti orang kesurupun, berteriak kencang, tanpa
sandal. Dalam beberapa detik aku sampai juga di pintu keluar di ujung lorong.
Aku tak berani melirik ke kamar
mandi yang gelap. Pikiranku sudah tak bersahabat. Bayangan-bayangan horor
lainnya seperti sesuatu yang lebih mengerikan lagi sedang menunggu dari
kamarmandi mulai bermunculan di benakku. Ketakutanku menjadi- jadi. Setelah
berhasil keluar, aku berharap ibu kosku mendengar teriakan histerisku tadi.
Tapi tidak. Dia tidak muncul darikamarnya. Kurasa dia tidur pulas.
Ah, sudahlah, yang penting aku
keluar dari tempat ini. Untung pintu depan tak dikunci - sepertinya memang
sudah tak terkunci untuk waktu yang sangat lama - dan aku akhirnya sampai
di halaman.
Aku menyempatkan diri berbalik dan memandang ke seluruh bagian rumah tempat kosku itu. Kali ini aku benar-benar terkejut dan setengah tak percaya. Rumah
tempat kos itu sama sekali gelap.
Tak ada lampu di mana pun. Tetapi
meski malam hari, akumasih bisa melihat jelas, ternyata rumah itu tinggal
puing-puingnya saja. Beberapa bagian atap sudah banyak yang bolong. Tumbuhan
rambat liar tumbuh subur menutupi sebagian besar dinding yang berlumut. Ya
Tuhan, apa yang sedang terjadi padaku? Sore tadi, aku masih menemukan tempat
ini seperti rumah biasa yang ada penghuninya.
Tak ada bekas ditelantarkan
sedikitpun. Tapi sekarang pandanganku seolah baru saja disingkapkan dan
kusaksikan kenyataannya sungguh jauh berbeda. Rumah ini benar-benar
tinggal puing dan hancur, dibiarkan terlantar bertahun-tahun hingga semak sudah
tumbuh setinggi dada. Lalu siapa ibu kos itu? Aku tak mau repot-repot
memikirkannya.
Aku sudah sangat takut sekarang. Dan kuat dugaanku ibu kos itu juga bukan manusia, yang menjelma menjadi sosok yang pernah hidup di masa lalu. Aku berlari keluar rumah dan terus berlari sampai aku benar-benar keluar dari komplek perumahan itu. Dan lebih anehnya—aku tak mau memikirkan ini lagi—semua rumah di komplek itu seperti tak ada pemiliknya; gelap, suram, dan terkesan angker.
Aku terengah-engah ketika
sampai di gerbang pintu masuk komplek perumahan itu. Saat berikutnya
aku menyeberang jalan dan di sana kulihat ibu pemilik warung tempat aku makan
siang tadi masih buka. Aku berjalan ke sana dan masuk ke dalam warungnya.
Barulah aku merasa agak tenang dan aku menceritakan semua kejadian yang
kualami ke ibu pemilik warung itu. Setelah semuanya kuceritakan, ibu pemilik
warung itu kemudian menceritakan semuanya.
Begini kisahnya. Dua puluh tahun
silam, sebuah rumah paling ujung bernomor 66, mengalami kejadian tragis.
Awalnya seorang mahasiswa mati bunuh diri di kamar mandi dengan cara gantung
diri. Semua teman kosnya berpendapat dia berhalusinasi dan tertekan karena
dihantui oleh penampakan hantu wanita dikamarnya.
Ada dugaan hantu wanita itu adalah anak ibu kos, yang mati dikurung di kamarnya karena gila. Tapi beberapa tahun setelahnya, rumah itu terbakar dan menewaskan ibu kos itu sendiri, termasuk beberapa anak kos yang terperangkap di kamarnya.
Menurut polisi, kebakaran itu
jelas disengaja. Mendengar rangkaian cerita
tragis mengerikan itu, aku
semakin gemetar ketakutan. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana kalau diriku
tinggal disana lebih lama lagi. Barangkali aku akan menjadi salah satu penghuni
abadi yang bergentayangan.(end)
Baca Juga Cerita Lainnya :
0 komentar:
Post a Comment